Jumat, 13 Maret 2015

Dikira Pelayan

Cerita jan ngisin-isinke ini dialami Jon Koplo setelah ujian pendadaran di sebuah Fakultas Teknik salah satu universitas swasta di Solo. Dengan pakaian hitam-putih, Koplo diantar gengnya, Tom Gembus, Gendhuk Nicole, dan Lady Cempluk, sekaligus menyemangatinya.
Sementara Koplo ujian di dalam, Tom Gembus Cs. Menunggu di luar sambil gojek dan makan camilan yang disediakan Koplo. Hingga akhirnya Koplo keluar dengan wajah sumringah. “Pengestumu Cah, aku lulus!” teriaknya diikuti teriakan gembira teman-tamannya.
Sebagaimana dijanjikan, Koplo pun ngirit teman -temannya makan-makan di sebuah rumah makan di kawasan Jl. Slamet Riyadi.
Sementara teman-temannya mengambil tempat duduk, Koplo beranjak menuju kamar mandi. Tiba-tiba ada suara cewek yang memanggil. “Mas… Mas…!” Koplo yang merasa tidak kenal dengan orang itu bertanya, “Saya Mbak?”
“Iya, Mas, sini,” Koplo mendekat. “Minta daftar menunya dong, Mas.”
Teman-temannya yang tadi melihat Jon Koplo pada tertawa cekikikan, “Maaf Mbak, Ini bukan pelayan tapi teman saya yang mau nraktir kita makan. Memang tampangnya mirip pelayan ya, Mbak?” jelas Gembus sambil mengejek. Koplo nyengir sementara cewek itu langsung merah mukanya.
Menyadari pakaiannya persis seragam pelayan restoran itu Koplo tersenyum kecut. “Aaasem-ik. Bos kok dikira pelayan,” gerutunya disambut tawa teman- temannya.

Solopos, 24 Maret 2014

Selasa, 21 Februari 2012

Teh Pahit

Minggu lalu, Jon Koplo, Tom Gembus, Lady Cempluk dan Gendhuk Nicole bersama beberapa teman sekampungnya di Desa Kuwiran, Banyudono, Boyolali, bonceng-boncengan piknik ke Pekalongan sambil membeli batik khas Pekalongan. Berangkat pukul 08.00 WIB, mereka tiba di Semarang sekitar dua jam kemudian. Tak terasa, dua setengah jam kemudian mereka tiba di sebuah rumah batik terkenal di Pekalongan. Setelah beli ini-itu, rombongan turis domestik itu pun melanjutkan perjalanan.
Berhubung hari sudah siang dan sang perut sudah pada pating plilit, rombongan itu pun mampir di sebuah warung makan.
“Pesan apa, Dik?” tanya bapak pemilik warung.
“Setelah berembuk sejenak, sebagai koordinator rombongan menjawab, “Soto empat, nasi pecel tiga, minumnya teh panas lima, es teh dua!”
Persoalan muncul ketika minuman tersaji terlebih dahulu. Saat lady Cempluk nyruput teh panasnya… “Buehh… Pahit banget?!” teriaknya gebres-gebres.
“Masa sih?” tanya Tom Gembus sambil nyedot es tehnya. “Walah, hiya, es tehnya juga pahit!” sambatnya.
Teman-teman yang lain pun merasakan hal yang sama.
“Pak, gulanya habis ya? Kok minumnya pahit semua?” tanya Koplo semu protes.
Pemilik warung pun menjawab, “Lho, Mas-mas dan Mbak-mbak tadi bilang teh panas sama es teh. Di Pekalongan kalau mau manis harus bilangnya teh panas manis dan es teh manis. Kalau nggak begitu nggak akan dikasih gula…”
Koplo dan teman-temannya pun saling pandang… “Ealaaah…!”


Sumber : Solopos, 17 Februari 2012

Minggu, 19 Februari 2012

Nangisi Pengamen

Tom Gembus, bocah berumur empat tahun inindridhis-nya minta ampun. Kalau punya keinginan harus keturutan, kalau tidak dituruti pasti nangis mbeker-mbeker dan ngamuk-ngamuk sehingga sering mambuat orangtuanya kewalahan.
Sore itu sehabis mandi Gembus diajak dolan mbakyunya, Gendhuk Nicole, ke lapangan. Ketika Gendhuk lagi asyik nonton anak-anak main bola, tiba-tiba Tom Gembus berlari mengikuti seorang pengamen, sebut saja Jon Koplo, yang sedang ngamenkeliling kampung.
Ketika sadang asyik menyanyi, tiba-tiba baju Koplo dieret-eret Tom Gembus. Tentu saja pengamen itu kaget, tapi ia tetap saja menyanyi sehingga membuat Gembus gulung koming. Gembus tambah ngamuk dan ngeret-eret baju Koplo. Jon Koplo bingung dan takut. Pemandangan tersebut tentu saja menyedot perhatian para tetangga karena mendengar tangis Gembus. “Bocah niki wau mboten kula napak-napakne lhe. Kula mboten ngertos kok ujug-ujug narik-narik klambi kula kalih nangis terus,” Koplo keweden karena orang-orang berkumpul di situ.
Beruntung Gendhuk Nicole tanggap. ia pun bertanya kepada adiknya, “Ngapa Mbus? Mase kon ngamen nang nggonmu?” tanyanya.
Tom Gembus menghentikan tangisnya dan manthuk-manthuk. Ealaaah, tibaknen! Semua orang yang ada di situ ngguyu kemekelen.
Akhirnya Gembus pun menggelandang pengamen itu pulang. Sampai di rumah, Koplo menyanyikan laguAyam Jago, sesuai permintaan Tom Gembus. Dan lucunya, Tom Gembus malah ikut nyanyi, ngguya-ngguyu sambil tepuk tangan! Ealah, karang bocah…


Sumber : Solopos, 20 Februari 2012

Sabtu, 18 Februari 2012

Midhun Sithik…!

Jon Koplo memang bukan seorang penyanyi profesional. Bahkan dia babar blas belum pernah nyanyi di depan umum. Untuk itulah warga Mojosongo, Solo ini sering belajar nyanyi secara otodidak di rumah agar bisa tampil menyumbangkan suaranya, minimal di acara ngantenan.

Kebetulan beberapa hari lalu tetangga Koplo punya gawe mantu. Pada acara midadareni, Tom Gembus, sang empunya rumah nanggap organ tunggal. Malam itu tamu undangan yang mayoritas tetangga Koplo lumayan banyak yang menyumbangkan lagu. Maka dengan PD-nya Jon Koplo ikut tampil untuk menguji kemampuan dan keberaniannya.

Tetapi baru satu kalimat Koplo bernyanyi, tiba-tiba Tom Gembus berteriak, “Mas, midhun sithik!” Jon Koplo yang berdiri di panggung dengan tenangnya melangkahkan kaki turun satu trap dari panggung sembari terus bernyanyi.

Meskipun Jon Koplo sudah turun satu trap, tetapi Tom Gembus masih berteriak, ”Mas, midhun sithik, ben penak dirungokke!” Lagi-lagi Jon Koplo melangkahkan kakinya turun satu trap lagi sambil tetap bernyanyi. Tentu saja ulah Koplo yang merasa tak berdosa ini jadi bahan ger-geran para hadirin. Bahkan sang pemain organ pun tak kuasa menahan tawa sampai menghentikan permainannya.

Karena Koplo tidak mudheng-mudheng, akhirnya Gembus berteriak lagi, ”Mas, sing midhun kuwi swaramu, dudu sikilmu. Swaramu kawit mau kedhuwuren kaya wong njerit. Ora penak dirungokke!”
Kali ini Koplo baru sadar.  ”Ooo, jebul swarane ta sing kon midhun…” kata Koplo sambil pringas-pringis kisinan.


Penulis : Krisnanda Theo Primaditya
Sumber : Solopos, 18 Februari 2012
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...